Hukum dan Pecegahan Pencemaran / Pengrusakan Lingkungan Perikanan.
Lingkungan hidup, termasuk lingkungan
laut (perikanan) merupakan karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa bagi umat
manusia. Karena itu pendayagunaan sumber daya perikanan haruslah
memperhitungkan kebutuhan masa kini dan generasi mendatang. Sehingga terdapat
cukup alasan, penyelenggaraan dan pengelolaan sumber daya perikanan yang
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan harus didasarkan pada norma hukum
dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan
global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan
hidup (lingkungan sumber daya ikan).
Pengelolaan sumber daya perikanan yang
berwawasan lingkungan sesungguhnya sudah menjadi kebutuhan dini. Mengapa ?
Krisis ekologis bukan lagi merupakan kemungkinan masa depan. Sebaliknya sudah
menjadi realita kontemporer yang melebihi batas-batas toleransi dan kemampuan
adaptasi lingkungan. Proliferasi malapetaka lingkungan –environmental
disasters—sudah mencapai dimensi regional-modial-global dan terus berdampak
secara dramatis (Suparto Wijoyo; 1999 :1). Dalam perspektif
krisis ekologis itu, pencemaran dan kerusakan lingkungan laut memperlihatkan
kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Dari sejumlah
klasifikasi kasus-kasus pencemaran dan perusakkan lingkungan di Indonesia,
pencemaran sungai menempati 41, 0 %, pencemaran air laut 6,5 %.
Keterbatasan sumber daya alam
sebagaimana juga halnya dengan sumber daya perikanan—dan kepekaan lingkungan
perikanan pada perubahan besar sebagai pendukung kehidupan manusia sudah lama
diperdebatkan para ahli. Dalam kaitan ini, tidaklah mengherankan apabila ahli
dibidang perikanan mempersoalkan dan mengembangkan gagasan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan perikanan. Selden dengan teorinya tentang “exhausstablity”
sumber daya ikan dilaut tahun 1600-an, Arrhenius yang menampilkan “environmental
vulnerability” pada tahun 1800-an. Haeckel dengan ajaran ekologinya tahun
1900-an, Huxly, Scott dan Elton dengan gerakan konsevasi selama 30 tahun,-
bagian-bagian pertama abad 20, dan Barry Commoner dengan hukum ekologinya tahun
1960-an, Otto Sumarwoto dengan Ekologi Indonesia tahun 1970-an, Emil Salim
dengan Ekonomi Lingkungan pada era pembanguna berwawasan lingkungan di
Indonesia pada tahun 1980-an , dan para pakar lingkungan lainnya merupakan
sebagian kecil saja contoh dari sejumlah ahli yang menghabiskan waktunya pada
keperdulian lingkungan (Daut Silalahi dalam Etty R. Agus, dkk; 1999:445).
Perkembangan gagasan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan tersebut menunjukkan ada perhatian serius terhadap
sumber daya perikanan untuk masa kini dan generasi mendatang. Dan di Indonesia
sendiri gagasan perlindungan dan pengelolaan lingkungan perikanan –setidaknya
berdasarkan UU No.9 Tahun 1985-- tampaknya belum sepenuhnya mengacu pada
prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang dianut Deklarasi Rio tahun 1992
yang berpengaruh pada ketentuan hukum lingkungan baru di Indonesia sebagaimana
diatur dalam UU No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup dan
sekaligus sebagai perluasan dan penyempurnaan UU No.4 Tahun 1982
.
Undang-Undang No.9 Tahun 1985 tentang
Perikanan sebagai peraturan dasar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
perikanan di Indonesia, dalam pembentukkannya ternyata belum mempertimbangkan
UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup dalam perumusannya, sehingga pembentukkan UU No.9 Tahun 1985 dapat
dikatakan masih mengabaikan soal perlindungan lingkungan sumber daya perikanan
–setidaknya belum menjadi perhatian yang sungguh-sungguh.
Undang-Undang No. 5 tahun 1985 cenderung
berkiblat pada pemanfaatan sumber daya perikanan yang
sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Meskipun disisi lain dinyatakan, bahwa
pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan oleh UU ini dikehendaki dilakukan
secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumber daya ikan berserta
lingkungannya, tetapi dengan kecenderungan UU perikanan itu pada gilirannya
akan berbenturan dengan UU No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Hal ini setidaknya terlihat dari beberapa pengertian yang diberikan UU
No.9 Tahun 1985 mengenai; Pencemaran Sumber Daya Ikan; Pencemaran Lingkungan
Sumber Daya Ikan; Kerusakan Sumber Daya Ikan dan Kerusakan Lingkungan Sumber
Daya Ikan tidak sejalan dengan pengertian pencemaran dan kerusakan lingkungan
yang dirumuskan UU No.23 Tahun 1997.
Ketidak kesejalanan
persoalan pengelolaan lingkungan antara UU No.9 Tahun 1985 dengan UU No. 23
tahun 1997 tersebut misalnya; Dalam UU No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan
memberikan pengertian tentang pencemaran lingkungan sumber daya ikan yakni; masuknya
atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam
lingkungan sumber daya ikan sehingga kualitas lingkungan sumber daya ikan turun
sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan sumber daya ikan
menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Sementara
itu menurut UU No.23 tahun 1997 yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan
hidup adalah; masuknya atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang mengakibatkan
lingkungan hidup sumber tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
Terhadap apa yang disebut
dengan kerusakan lingkungan sumber daya ikan dalam UU No. 9 Tahun 1985 dirumuskan
sebagai; suatu keadaan lingkungan sumber daya ikan disuatu lokasi perairan
tertentu yang telah mengalami perubahan fisik, kimiawi dan hayati, sehingga
tidak atau kurang berfungsi sebagai tempat hidup, mencari makan, berkembang
biak atau berlinfung sumber daya ikan, karena telah mengalami gangguan
sedemikian rupa sebagai akibat perbuatan seseorang atau badan hukum.
Sementara UU No.23 Tahun 1997 tidak lagi digunakan istilah “kerusakan”
lingkunggan hidup, melainkan “Perusakkan” yang dirumuskan sebagai; tindakan yang menimbulkan perubahan
lansung atau tidak lansung terhadap sifat fisik dan atau hayati yang
mengakibatkan lingkungan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan
berkelanjutan.
Adanya perbedaan rumusan mengenai
pencemaran lingkungan dan tidak dipergunakannya lagi istilah kerusakan
lingkungan dalam UU No.23 Tahun 1997, ia menunjukkan bahwa konsepsi soal
pencemaran dan kerusakan lingkungan sumber daya ikan sebagaimana yang dianut UU
No.9 Tahun 1985 sudah tidak memadai lagi dan karenanya perlu diperbaharui atau
diselaraskan dengan perkembangan baru hukum lingkungan di Indonesia.
Pembaharuan atas UU No. 9
tahun 1985 tentang Perikanan tersebut dirasakan sangat penting, apabila
dihubungkan dengan konsepsi pengelolaan sumber daya perikanan sebagaimana
dituangkan dalam Pasal 3 UU No.9 tahun 1985, yakni: Pengelolaan sumber daya
ikan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia ditujukan kepada tercapainya
manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Dalam konteks ini,
upaya pengelolaan sumber daya perikanan cenderung bergerak kearah eksploitasi
dan kurang menaruh perhatian pada pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan
sumber daya perikanan.
Di lain pihak, meskipun UU No. Tahun
1985 menghendaki perlu adanya ketentuan hukum yang mengatur mengenai pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan
peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya, tetapi dalam
kenyataannya, selain lemahnya penegakkan hukum, juga belum tersedia ketentuan
hukum yang memadai. Indikasinya terlihat dari pencemaran dan perusakan
lingkungan sumber daya perikanan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke
tahun.
Terjadinya peningkatan kualitas maupun
kuantitas pencemaran dan kerusakan lingkungan sumber daya ikan di Indonesia
itu, sekaligus memperlihatkan rendahnya partisipasi dan lemahnya komitmen kita
terhadap pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Padahal
masyarakat internasional sudah sejak lama meletakkan dasar akan arti penting
perlindungan terhadap sumber daya ikan.
Dalam Pasal 24 Konvensi Jenewa 1958 ditegaskan; "every state
shall draw up regulations to prevent pollution of the seas by the dischange of
oil from ships or pipelines or resulting from the exploitation and exploration
if the seabed and its subsoil taking account to the existing treaty provisions
on the subject". ("Setiap negara wajib mengadakan
peraturan-peraturan untuk mencegah pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak
yang berasal dari kapal atau pipa laut atau yang disebabkan oleh eksplorasi dan
eksploitasi dasar laut dan tanah di bawahnya, dengan memperhatikan
ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang terdapat mengenai masalah
ini").
Konvensi Jenewa 1958 juga mewajibkan
negara-negara untuk mengadakan peraturan perundang-undangan tentang
perlindungan lingkungan laut (termasuk ke dalamnya lingkungan perikanan dan
pelestarian kekayaan hayati laut). Dengan demikian tidak cukup alasan bagi
Indonesia untuk tidak memiliki ketentuan hukum yang khusus mengenai pencegahan
pencemaran dan kerusakan lingkungan sumber daya ikan.
Demikian pula dengan Konvensi Hukum
Laut 1982 yang dalam pasal 192 menegaskan : "states have the obligation
to protect and preserve the marine environment" ("Negara-negara
mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut").
Disamping kewajiban, maka berkenaan dengan hak kedaulatan negara untuk
mengeksploitasikan kekayaan alamnya (sumber daya ikan), lebih jauh Pasal 193
Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan : "states have the sovereign right
to exploit their natural resources pursuant to their environmental policies and
accordance with their duty to protect and preserve the marine environment"
("Negara-negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasi kekayaan
alam mereka serasi dengan kebijaksanaan lingkungan mereka serta sesuai pula
dengan kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan lingkungan
laut").
Baik berdasarkan Konvensi Jenewa 1958
maupun Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa
pengeksploitasian sumber daya ikan dilakukan secara sumultan dengan
upaya perlindungan dan pelestarian sumber daya ikan. Masalahnya kemudian,
bagaimana ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
(sumber daya ikan) dalam ketentuan hukum nasional Indonesia ? Perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut (pantai) dalam Hukum Nasional kita dapat dilihat
pada :
- Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
- Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Terbentuknya
peraturan perundang-undangan baru yang dapat dianggap memenuhi kesadaran hukum
rakyat, tidak otomatis menjamin efektifitas pelaksanaannya. Hal ini berlaku
pula untuk kedua aturan perundang-undangan tersebut di atas, penyebabnya antara
lain (Budi Wibowo) :
- Ketentuan perundang-undangan tidak segera dilengkapi dengan ketentuan pelaksanaannya (Implementing regulations) sehingga berdampak bahwa ketentuan operasional yang dibuat berdasarkan undang-undang yang lama untuk menjaga kefakuman hukum sehingga masih tetap berlaku.
- Kurang berkembangnya teori penafsiran hukum yang mestinya dapat dikembangkan oleh para hakim, sehingga ada kelambatan dalam proses pembentukan hukum baru.
- Perkembangan hukum dalam masalah sumber daya alam hayati dan lingkungan laut belum disertai dengan kemampuan aparat penegak hukum di lapangan.
Dalam UU No. 5
Tahun 1990 ditegaskan bahwa kawasan pelest`rian alam sebagai kawasan dengan
ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman. Jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya.
Ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari
kedua undang-undang tersebut yang di dalamnnya tercakup soal perlindungan
lingkungan sumber daya ikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, misalnya :
- Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut
- Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
IV. Kesimpulan.
Dengan bertolak
dari fungsi hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka masih dirasakan adanya
kekurangan aturan pelaksanaan dalam pencegahan pencemaran dan kerusakan
lingkungan perikanan guna menghindari kerugian yang lebih besar disamping
mengingat eksistensi lingkungan laut bagi kelansungan hidup manusia. Di sisi
lain perlu adanya pelatihan-pelatihan khusus untuk tenaga peneliti, pengawas,
dan pengendali lingkungan, khususnya lingkungan laut. Peningkatan SDM di bidang
kelautan berkaitan dengan perlindungan mutu laut, yang meliputi baku mutu air,
kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar