Rabu, 21 Maret 2012

potensi sumber daya dan pemanfaatan perairan indonesia

A. Potensi Sumber Daya dan Pemanfaatan Perairan Indonesia

Indonesia mempunyai wilayah perairan sebesar 5,8 juta km2, yang terdiri dari 0,3 juta km2 laut teritorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 km2 zona ekonomi ekslusif. Sekitar 70 % wilayah Indonesia berupa laut dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Oleh karena itu sumber daya pantai dan laut yang dimiliki Indonesia sangat besar baik yang non hayati seperti bahan tambang dan energi maupun hayati terutama ikan. Potensi sumber daya ikan (SDI) laut diperkirakan sebesar 6,26 juta ton/tahun yang terdiri dari potensi wilayah perairan Indonesia sekitar 4,40 juta ton/tahun dan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar 1,86 juta ton/tahun.[1] Hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001, potensi SDI di wilayah perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per-tahun, dengan rincian 5,14 juta ton per-tahun berasal dari perairan teritorial dan 1,26 juta ton pertahun berasal dari ZEEI.[2] Mengingat besarnya sumber daya yang ada maka pantai dan laut dapat dijadikan sumber pangan dan bahan baku industri.
Pemanfaatan sumber daya perikanan laut memungkinkan terjadi kompetisi baik antarnelayan lokal maupun dengan nelayan pendatang (andon). Kompetisi terjadi dalam penggunaan teknologi alat tangkap juga perebutan sumber daya di lokasi wilayah penangkapan (fishing ground). Hal ini kemudian menjadi potensi konflik yang suatu saat akan mengakibatkan terjadinya konflik terbuka. Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat tergantung pada kemampuan modal dan ketrampilan nelayan dalam menggunakaannya. Tidak semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan teknologi penangkapan modern. Sementara laut sebagai sumber daya milik bersama (common property resources) tidak memiliki batasan wilayah yang jelas.dalam kondisi demikian, sering terjadi benturan atau konflik diantara para nelayan yang sangat tergantung secara ekonomis terhadap laut.
Konflik nelayan terjadi diantara kelompok nelayan yang menggunakan sumber daya alam yang sama dengan penggunaan alat tangkap yang sama pula atau diantara para nelayan yang menggunakan peralatan tangkap yang berbeda pada daerah penangkapan yang sama. Konflik seperti demikian yang sering terjadi perairan utara Jawa Timur4.

B. Konflik Antarnelayan

Pesisir utara Jawa Timur yang membentang dari Kabupaten Tuban hingga Kabupaten Situbondo juga wilayah pesisir Pulau Madura. Konflik antar kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan terjadi di beberapa daerah. Kasus di perairan Bangkalan dimana dua kelompok nelayan terlibat bentrok fisik akibat berebut daerah penangkapan ikan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Juli 1995 di perairan Karangjamuang, Bangkalan utara. Konflik terjadi antara nelayan lokal dengan nelayan Lamongan. Terjadilah pembakaran perahu-perahu nelayan Lamongan oleh nelayan Bangkalan, karena menganggap wilayah perairan tersebut adalah milik mereka sejak turun temurun dan melarang nelayan Lamongan untuk menangkap lagi di perairan mereka. Kasus serupa terjadi pula di perairan Sidoarjo, dimana bentrok antara nelayan Pulau Mandangin sampang dengan Nelayan Kisik, Pasuruan yang disebabkan perebutan lokasi penangkapan udang[3].
Kasus penggunaan alat tangkap terjadi di Perairan Probolinggo, Pausuran dan Lamongan. Di Probolinggo, nelayan asal Kalibuntu, Kraksan terlibat bentrok dengan nelayan Pulau Gili Ketapang yang disebabkan penggunaan alat tangkap mini trawl untuk menagkap ikan. Sementara di Pasuruan, bentrokan terjadi antara nelayan Kecamatan Lekok dengan nelayan Kisik, Kalirejo Kecamatan Kraton dengan kasus yang sama. Di Lamongan, ratusan nelayan Paciran menghancurkan fasilitas publik, seperti kantor Camat, Mapolsek, dan Makoramil karena menganggap Pemkab Lamongan tidak segera mengatasi nelayan yang menggunakan alat tangkap mini trawl yang telah berlangsung lama. Mereka beranggapan kehadiran alat tangkap ini telah merusak ekosistem laut[4]
Konflik antarnelayan di perairan Jawa Timur sebenarnya telah berlangsung lama, sejak tahun 70-an. Kejadian di Muncar misalnya, berawal dari kalahnya bersaing antara nelayan tradisional dan nelayan purse seine. Dan pertikaian akibat kecemburuan ini berlangsung hingga tahun 1980-an. Namun sejak tahun 1990-an keadaan konflik bergeser tidak hanya antara tradisional dan nelayan modern seperti kejadian pembakaran purse seine di Masalembu dan Sumenep, tapi juga antarnelayan tradisional[5].

Perahu Nelayan Lamongan
C. Jenis Konflik dan Faktor yang Mempengaruhinya[6]
Secara umum konflik antarnelayan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu : (1) konflik kelas, (2) konflik orientasi, (3) konflik agraria, dan (4) konflik primordial. Konflik kelas atau disebut juga konflik vertikal, yakni konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat. Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi. Pada perikanan industri, kapal yang digunakan berukuran relatif besar dan menerapkan teknologi maju. Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya lebih kecil dan teknologi yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial, karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat merasa khawatir hasil tangkapannya akan semakin menurun karena sumber daya ikan yang tersedia ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar.
Konflik orientasi yaitu konflik antara nelayan yang berorientasi pasar dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang berorientasi pasar biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, nelayan tersebut sering menggunakan alat tangkap yang merusak sumber daya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap kelestarian sumber daya ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
Konflik agraria yaitu konflik perebutan penangkapan (fishing ground), biasanya terjadi antarnelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak euforia otonomi daerah. Sedangkan konflik primordial terjadi sebagai akibat perbedaan identitas atau sosial budaya, misalnya etnik dan daerah asal. Konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria.
D. Pembahasan
Keadaan sumber daya di suatu kawasan dipengaruhi oleh enam faktor utama, yaitu: pranata pengelolaan sumber daya lokal, konteks sosial budaya, kebijakan Negara, variable teknologi, tingkat tekanan pasar dan tekanan penduduk. Keenam faktor tersebut mempengaruhi secara langsung terhadap keadaan sumber daya atau yang tidak langsung dengan diperantarai oleh pranata lokal[7] .
Upaya pemerintah yang dilakukan lebih berorientasi pada pertumbuhan daripada pemerataaan yang mengedepankan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama. Hal ini terjadi saat pemerintahan Orde Baru. Ciri-ciri pembangunan Orde Baru dapat disimak dari: (1) pola pembangunan yang sentralistik; (2) Negara sangat dominan terhadap masyarakat; (3) pembangunan yang diterapkan secara seragam dengan mengabaikan keanekaragaman atau pluralitas masyarakat dan kebudayaannya; (4) pendekatan yang bersifat mobilisasi lebih diutamakan daripada partisipasi sosial[8].

Penyebab Konflik

Terjadinya konflik di masyarakat nelayan disebabkan salah satunya oleh kondisi kepemilikan bersama sumber daya perikanan laut. Dalam hal ini keikutsertaan bersifat bebas dan terbuka[9]. Sementara, Daniel Mohammad Rosyid[10] mengungkapkan ada 4 faktor penting yang menyebabkan terjadinya konflik anatara nelayan. Pertama, jumlah nelayan dengan beragam alat tangkap serta ukuran kapal telah meningkat. Kedua, luas wilayah operasi tidak bertambah luas karena teknologi yang dikuasai tidak berkembang. Ketiga, telah mengalami kondisi tangkap lebih dan populasi ikan mulai menurun. Keempat, kesalahan pemahaman atas implikasi dan perumusan Undang-Undang mengenai otonomi daerah yang mengatur kewenangan pengelolaan wilayah perairan laut.
Tiga faktor pertama sebagian dapat disebabkan oleh krisis ekonomi yang telah menimbulkan pergeseran sektor ketenagakerjaan dari manufaktur ke perikanan tangkap. Sementara over kapitalisasi operasi perikanan laut dalam pemanfaatan sumber daya laut bersama, sudah berkurang potensinya. Sedang faktor keempat berkaitan dengan regulasi yang mengatur pengelolaan laut sebagai sumber daya bersama[11].
Dari sisi kepentingan, konflik di wilayah pantai menjadi sangat tinggi terutama setelah masuknya masyarakat non lokal yang cenderung memanfaatkan sumber daya pantai secara intensif baik modal maupun teknologi dan kurang memperhatikan kepentingan kelompok atau sektor/subsektor lain terutama masyarakat lokal. Sering terjadi masyarakat lokal justru makin tersisihkan karena tidak mampu bersaing[12].
Sementara Ibrahim Ismail[13] mengidentifikasi konflik menjadi 2 permasalahan pokok yakni eksternal dan internal. Konflik terjadi akibat terusiknya kelangsungan usaha masyarakat setempat karena beroperasinya kapal-kapal besar dari daerah sehingga aktivitas keseharian nelayan setempat terganggu. Sedang kasus yang diakibatkan faktor internal adalah konflik penggunaan alat penangkap ikan. Masalah ini yang sering terjadi dibanyak daerah, dimana alat tradisional akan terlindas oleh nelayan yang menggunakan alat yang dimodifikasi dan aktif seperti dogol atau cotok. Konflik tersebut sering kali melibatkan dua kelompok nelayan yang berbeda teknologi untuk memperebutkan daerah dan target penangkapan yang sama[14].
Keberadaan UU Otonomi Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah mengatur bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan pemerintah kota/kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau sejauh 4 (empat) mil. Ketentuan itu mencerminkan adanya pergeseran paradigma pembangunan kelautan (termasuk perikanan) dari pola sentralistik ke desentralistik.
Namun, konflik antarnelayan makin marak setelah lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Namun demikian, karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara jelas maka timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan pemerintah daerah maupun nelayan. Gejala ini terlihat dari adanya beberapa pemerintah daerah yang mengeluarkan perijinan di bidang penangkapan ikan yang diluar kewenangannya. Sementara, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak kepemilikan (property rights) maupun pemanfaatan (economic rights). Fenomena ini menyulut timbulnya konflik antarnelayan.
Masalah yang mucul dengan adanya pemberian kewenangan wilayah laut kepada daerah oleh, antara lain:
(1) Tidak sesuai dengan filosofis laut sebagai perekat dan pemersatu sehingga tidak seharusnya boleh dibagi-bagi;
(2) Secara teknis akan sulit, karena titik-titik koordinat dan garis-garis batas memang dapat digambarkan pada peta, tetapi pada pelaksanaannya (di laut) tidak mungkin jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir dengan konflik;
(3) Pengertian yang benar mengenai batas dan berbagai implikasinya tidak mudah dipahami, baik oleh masyarakat umum maupun oleh pejabat[15].
Interprestasi UU No. 22 Tahun 1999 masih kurang jelas. Banyak pihak yang mempertanyakan tentang Wilayah otonomi penangkapan ikan, sementara peraturan pelaksanaan dari UU tersebut belum ada. Sehingga penguasaan wilayah perairan ditafsirkan sebagai bentuk pengkavlingan laut. Sedang pada tingkat nelayan telah menimbulkan konflik horisontal yang amat tajam.
Potensi Sumber daya Ikan versus Jumlah Nelayan
Potensi sumber daya ikan yang besar manajemen perikanan yang menganut asas kehatian-hatian (precautionary approach). Dengan menetapkan JTB (Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan) yang berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah serta perairan ZEEI. Potensi dan JTB di atas dimungkinkan mengalami perubahan ke arah yang positif, yakni terjadi kenaikan.  Asumsi bahwa potensi SDI di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton pertahun dan JTB sebesar 5,12 juta ton pertahun, maka produktifitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton/orang/tahun atau ekivalen 6,63 kg/orang/hari (lama melaut 200 hari dalam 1 tahun)[16]. Rendahnya produktifitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil tangkapan semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumber daya ikan bersifat terbuka (open access).
Kondisi di atas dimungkinkan merupakan salah satu penyebab nelayan di negara kita rentan terhadap konflik. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk mengatasi masalah ini, terutama guna melindungi nelayan perikanan rakyat yang merupakan bagian terbesar dari seluruh nelayan dan tingkat kesejahteraannya masih rendah.
Tangkapan Lebih (Over Fishing)[17]
Pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta ton. Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar 6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton pertahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan, di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72 %)[18].
Terjadinya over fishing telah mendorong nelayan yang biasa menangkap ikan di perairan tersebut melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) lain yang masih potensial. Hal ini apabila tidak diantisipasi dapat menjadi faktor pendorong timbulnya konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.
Perilaku/Motivasi[19]
Seperti diketahui bahwa sebagian besar nelayan di Indonesia baik nelayan perikanan industri maupun nelayan perikanan rakyat masih terlalu mengejar rente ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Hal ini mendorong nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan mengabaikan aspek-aspek kelestarian, meskipun di beberapa daerah berlaku kearifan-kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan lokal dan hukum-hukum adat. Dampak dari padanya, prinsip-prinsip kanibalisme sering terjadi di laut dan konflik antarnelayan tidak dapat dihindari. Untuk itu ke depan, pembangunan perikanan tangkap harus mampu merubah orientasi nelayan ke arah yang lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan sumber daya ikan, guna menjaga kelestarian dan menghindari konflik.

Sosial Ekonomi

Jumlah nelayan kategori miskin pada akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai 23.327.228 nelayan[20]. Sumber lain menyebutkan 85 % penduduk di wilayah pantai yang subur dan produktif masih miskin, terutama di wilayah pantai yang tingkat aksesibilitasnya sangat rendah. Sekitar 60 % penduduk tinggal dan menggantungkan hidupnya di wilayah pantai dan laut. Lebih dari 90 % produksi ikan dihasilkan di daerah perairan pantai oleh nelayan tanpa perahu, perahu motor dan perahu motor tempel[21].
Sampai saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di Indonesia masih memprihatinkan. Tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah bahkan sebagian tidak berpendidikan, penghasilan tidak menentu, tanpa jaminan kesehatan dan hari tua, tinggal di rumah yang kurang layak dan sebagainya. Disisi lain, mereka pada umumnya konsumtif dan tidak mempunyai budaya menabung. Masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang demikian, biasanya emosional, nekat dan mudah dipengaruhi. Permasalahan kecil yang timbul diantara mereka dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan. Oleh karena itu mereka sangat rentan terhadap konflik, meskipun penyebabnya seringkali masalah sepele.
E. Upaya Mengatasi Konflik
Dengan memperhatikan aspek sosial-budaya dan kepentingan ekonomi masyarakat nelayan, pemikiran-pemikiran mengatasi konlik perebutan sumber daya perikanan laut tidak mudah dilaksanakan. Prinsip yang harus dikembangkan untuk menghindari konflik adalah strategi pemanfataan sumber daya harus mempertimbangkan pendekatan yang menyeluruh tentang jumlah biaya, keuntungan yang dicapai dari proses eksploitasi. Strategi harus memperhatikan interaksi positif antara kepentingan ekonomi dan lingkungan.
Pemberdayaan Nelayan
Salah satu pemicu timbulnya konflik antarnelayan adalah kondisi sosial ekonomi dan motivasi/perilaku yang ada pada masyarakat nelayan. Untuk itu, agar konflik dapat dihindari maka perlu dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan perubahan motivasi/perilaku ke arah yang lebih positif. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment). Diharapkan dengan kegiatan pemberdayaan yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan maka konflik antarnelayan dapat dihindari.

Relokasi

Sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang padat penduduknya dalam hal ini Pantai Utara Jawa Timur. Kondisi ini menyebabkan perairan di sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over fishing. Dampak dari padanya, di perairan tersebut sering terjadi konflik antarnelayan karena perebutan daerah penangkapan (fishing ground). Oleh karena itu perlu dilakukan pemindahan (relokasi) armada dari daerah sekitar perairan yang sudah padat tangkap atau telah menunjukkan gejala over fishing ke perairan lain yang masih surplus tingkat pemanfaatan sumber daya ikannya24.
Dengan adanya kegiatan ini maka diharapkan akan terjadi keseimbangan tingkat pemanfaatan di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan, sehingga pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan konflik yang disebabkan karena perebutan daerah penangkapan dapat dihindari.
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat[22]
Sumber daya ikan dapat mengalami degradasi bahkan pemusnahan apabila dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun sumber daya ikan merupakan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources). Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran sebagian nelayan akan hilangnya mata pencaharian mereka, sehingga memunculkan konflik dengan nelayan yang kurang peduli terhadap kelestarian.
Penerapan manajemen perikanan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat adalah keharusan, agar pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generash. Pelibatan masyarakat secara penuh dalam pemanfaatan sumber daya ikan (perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan termasuk rehabilitasi dan konservasi) dimaksudkan agar seluruh stakeholders merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya ikan.


Pengembangan Usaha Alternatif [23]
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik antarnelayan adalah pengembangan usaha alternatif, misalnya di bidang budidaya ikan, pengolahan ikan, perbengkelan dll. Dengan adanya usaha alternatif diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga ketergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi dan keinginan nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.
Disamping itu, upaya ini dapat juga mengurangi jumlah nelayan kerena beralih profesi ke usaha alternatif yang lebih prospektif. Berkurangnya jumlah nelayan di daerah-daerah yang padat, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera juga merupakan solusi untuk menghindari konflik.
Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan
Selama ini, dalam melakukan usaha penangkapan ikan, nelayan pada umumnya lebih berorentasi pada jumlah (volume) hasil tangkapan, dibanding nilai (value) hasil tangkapan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi (pemborosan) dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan dapat menjadi pemicu timbulnya konflik.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu. Dengan meningkatnya mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan dan pada gilirannya akan merubah orientasi nelayan dari mengejar jumlah tangkapan ke margin pendapatan[24].
Pengawasan dan Penegakan Hukum
Pemerintah melalui KepMen Pertanian No. 607 Tahun 1975 jo No. 392 Tahun 1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah berupaya agar konflik antarnelayan dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut menjelaskan tentang daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 (tiga) Jalur Penangkapan[25].
Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap keputusan tersebut di atas dapat menghindari terjadinya konflik antarnelayan. Penegakkan aturan hukum yang melarang penggunaan teknologi penangkapan yang merusak lingkungan, yang juga dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan meningkatkan kesenjangan pendapatan diantara kelompok nelayan. Penegakan hukum harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat, bilamana terjadi pelanggaran peraturan harus ditindak tegas, tentunya aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan ini harus jelas terlebih dulu, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.

F. Penutup

Sumber daya kawasan pesisir dan laut termasuk obyek strategis yang menjadi ajang perebutan kepentingan. Konflik di perkirakan masih akan terus berlangsung. Secara struktural, nelayan di Indonesia rentan terhadap konflik, sehingga perlu ditempuh langkah-langkah untuk mengantisipasi agar konflik antarnelayan dapat dihindari. Berbagai sumbangan pemikiran yang ada masih perlu didiskusikan lebih lanjut, dengan harapan diperoleh solusi yang lebih tepat dan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan

pencemaran laut yang mengganas

Abrasi dan Pencemaran Laut yang Mengganas


Abrasi pantai tidak hanya membuat garis-garis pantai menjadi semakin menyempit, tapi bila dibiarkan begitu saja akibatnya bisa menjadi lebih berbahaya. Seperti kita ketahui, negara kita Indonesia sangat terkenal dengan keindahan pantainya. Setiap tahun banyak wisatawan dari mancanegara berdatangan ke Indonesia untuk menikmati panorama pantainya yang sangat indah. Apabila pantai sudah mengalami abrasi, maka tidak akan ada lagi wisatawan yang datang untuk mengunjunginya. Hal ini tentunya sedikit banyak akan mempengaruhi perekonomian di Indonesia karena secara otomatis devisa negara dari sektor pariwisata akan mengalami penurunan. Selain itu, sarana pariwisata seperti hotel, restoran, dan juga kafe-kafe yang terdapat di areal pantai juga akan mengalami kerusakan yang akan mengakibatkan kerugian material yang tidak sedikit. Demikian juga dengan pemukiman penduduk yang berada di areal pantai tersebut. Banyak penduduk yang akan kehilangan tempat tinggalnya akibat rumah mereka terkena dampak dari abrasi.
Pencemaran laut juga masih merupakan masalah yang belum terselesaikan di Indonesia. Pencemaran laut banyak terjadi di kawasan-kawasan pantai di pulau Jawa, khususnya di Jakarta. Sudah tidak diragukan lagi bahwa pencemaran laut, khususnya di Jakarta disebabkan oleh sampah yang mengalir melalui sungai-sungai. Selain itu juga disebabkan olehl imbah-limbah pabrik maupun pembuangan limbah minyak yang disebabkan oleh kebocoran kapal tanker.
A. Pengertian Abrasi
Abrasi merupakan peristiwa terkikisnya alur-alur pantai akibat gerusan air laut. Gerusan ini terjadi karena permukaan air laut mengalami peningkatan. Naiknya permukaan air laut ini disebabkan mencairnya es di daerah kutub akibat pemanasan global. Sebagai contoh daerah di Indonesia yang sering mengalami abrasi adalah di kawasan pantai daerah Jabuoaten Indramayu, seluas 40 kilometer kawasan itu terus digerus abrasi.
B. Penyebab Abrasi dan Dampaknya
Abrasi biasanya terjadi akibat penggundulan hutan bakau oleh manusia. Di Indonesia sendiri, banyak sekali terdapat hutan bakau, akan tetapi semakin lama semakin berkurang akibat penebangan yang melebihi batas yang ditentukan, baik untuk perdagangan mauoun untuk pembuatan pekabuhan. Mengapa harus hutan bakau? Karena mangrove yang ditanam di pinggiran pantai, akar-akarnya mampu menahan ombak sehingga menghambat terjadinya pengikisan pantai. Abrasi pantai tidak hanya membuat garis-garis pantai menjadi menyempit, bila dibiarkan bisa menjadi lebih berbahaya. Demikian juga dengan pemukiman penduduk yang berada di areal pantai tersebut.
Abrasi disebabkan oleh naiknya permukaan air laut diseluruh dunia karena mencairnya lapisan es di daerah kutub bumi. Mencairnya lapisan es ini merupakan dampak dari pemanasan global yang terjadi belakangan ini. Seperti yang kita ketahui,pemanasan global terjadi karena gas-gas CO2 yang berasal dari asap pabrik maupun dari gas buangan kendaraan bermotor menghalangi keluarnya gelombang panas dari matahari yang dipantulkan oleh bumi, sehingga panas tersebut akan tetap terperangkap di dalam atmosfer bumi dan mengakibatkan suhu di permukaan bumi meningkat. Suhu di kutub juga akan meningkat dan membuat es di kutub mencair, air lelehan es itu mengakibatkan permukaan air di seluruh dunia akan mengalami peningkatan dan akan menggerus daerah yang permukaannya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya abrasi sangat erat kaitannya dengan pencemaran lingkungan.
Dalam beberapa tahun terakhir, garis pantai di beberapa daerah di Indonesia mengalami penyempitan yang cukup memprihatinkan. Seperti yang terjadi di daerah pesisir pantai wilayah kabupaten Indramayu. Abrasi yang terjadi mampu menenggelamkan daratan antara 2 hingga 10 meter pertahun dan sekarang dari panjang pantai 114 kilometer telah tergerus 50 kilometer. Dari 10 kecamatan yang memiliki kawasan panati, hanya satu wilayah kecamatan yakni kecamatan Centigi yang hamper tidak memiliki persoalan abrasi. Hal ini karena di wilayah kecamatan Centigi memiliki kawasan hutan mangrove yang masih mampu melindungi kawasan pantai dari abrasi. Tingkat abrasi yang cukup tinggi juga terjadi di kecamatan Pedes dan Cibuaya Kabupaten Karawang. Meskipun abrasi pantai dinilai belum pada kondisi yang membahayakan keselamatan warga setempat, namun bila hal itu dibiarkan berlangsung, dikhawatirkan dapat menghambat pengembangan potensi kelautan di kabupaten Inramayu maupun Karawang secara keseluruhan, baik pengembangan hasil produksi perikanan maupun pemanfaatan sumber daya kelautan lainnya.
Abrasi yang terjadi di kabupaten Indramayu merupakan contoh kasus abrasi yang terjadi di Indonesia. Selain di Indramayu, masih banyak daerah lain yang juga mengalami abrasi dengan tingkat yang tergolong parah. Apabila hal ini tidak ditindaklanjuti secara serius, maka dikhawatirkan dalam waktu yang tidak lama beberapa pulau yang permukaannya rendah akan tenggelam.
Dampak lain dari adanya abrasi adalah rusaknya kehidupan hayati akibat hilangnya hutan bakau oleh manusia, sehingga menyebabkan abrasi dengan mudah menghancurkan ekosistem ikan-ikan perairan pantai. Hal ini terjadi karena hutan bakau sebagai pelindung ekosistem tersebut telah hilang.
Selain itu, yang ekstrim abrasi juga menghancurkan rumah-rumah penduduk dan tambak-tambak milik warga setempat. Seperti daerah-daerah di kabupaten Indramayu yang sering terkena abrasi seperti di kecamatan Sukra, Balongan maupun Juntinyuat, tambak-tambak udang dan bandeng milik penduduk setempat hancur akibat terkena abrasi. Padahal, tambak-tambak di daerah tersebut menghasilkan udang maupun bandeng yang berorientasi ekspor. Hal ini akan merugikan karena mengurangi pendapatan dan roda perekonomian daerah tersebut yang bertumpu pada tambak-tambak itu akan hilang. Yang paling merugikan warga adalah hilangnya tempat tinggal mereka. Walaupun mereka sudah direlokasi ke tempat yang aman, abrasi terus terjadi, sehingga rumah-rumah penduduk yang lataknya 500 meter dari pantai tidak akan bertahan selama lima tahun.
Selain abrasi, masalah yang terjadi di daerah pesisir pantai adalah masalah pencemaran lingkungan pantai. Beberapa pantai mengalami pencemaran yang cukup parah seperti kasus yang terjadi di daerah Balikpapan, dimana pada tahun 2004 tercemar oleh limbah minyak. Tumpukan kerak minyak atau sludge berwarna hitam yang mirip dengan gumpalan aspal tersebut beratnya diperkirakan mencapai 300 ton. Contoh lain adalah kasus yang terjadi di sekitar teluk Jakarta. Berbagai jenis limbah dan ribuan ton sampah yang mengalir melalui 13 kali di Jakarta berdampak pada kerusakan Pantai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Pada tahun 2006, kerusakan terumbu karang dan ekosistem taman nasional itu diperkirakan mencapai 75 kilometer. Tahun lalu saja telah terjadi kerusakan serius sepanjang 40 kilometer. Kali Ciliwung, Banjir Kanal Barat (BKB), Kali Sunter, dan Kali Pesanggrahan merupakan penyumbang pencemaran terbesar ke Teluk Jakarta. Setiap hari Kali Ciliwung, BKB, dan Kali Sunter mengalirkan sampah yang berton-ton banyaknya. Sampah berbagai jenis itu mengalir ke Teluk Jakarta, dan sampai ke Pantai Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Kondisi ini memerlukan penanganan segera. Terkait dengan itu, pencemaran teluk Jakarta harus segera diatasi, terutama dengan melakukan pengurangan limbah sampah di sungai. Pencemaran yang terjadi di pesisir pantai merupakan sesuatu yang sangat merugikan bagi manusia. Selain itu, sebagian besar objek wisata di Indonesia merupakan wisata pantai. Keindahan panorama pantai membuat wisatawan dari mancanegara berdatangan ke Indonesia. Hal ini seharusnya lebih mempedulikan kebersihan dan keasrian pantai, karena apabila keadaan pantai tidak bersih dan dipenuhi sampah, wisatawan tidak akan mau lagi mengunjungi pantai di Indonesia yang akibatnya dapat mengurangi devisa negara. Rusaknya lingkungan pantai juga dapat merusak ekosistem yang ada disana. Biota yang hidup di daerah pantai seperti terumbu karang dan ikan-ikan kecil akan mati bila tingkat pencemarannya tinggi. Untuk itu diperlukan upaya dari pemerintah maupun masyarakat untuk menjaga keindahan dan keasrian pantai.
A. Pencemaran Laut dan Dampaknya
Pencemaran laut merupakan rusaknya kondisi laut akibat perbuatan manusia. Aktifitas manusia sehari-hari memegang peranan yang paling besar dan merupakan penyebab utama dari terjadinya polusi laut dunia. Lebih dari 80 persen polusi laut yang terjadi pada lautan berasal dari aktivitas yang terjadi di darat. Mulai dari hancurnya terumbu karang, penumpukan sampah, timbunan zat kimia berbahaya, sampai peningkatan suhu permukaan laut sehingga mengakibatkan tidak seimbangnya ekosistem yang ada di laut. Berton-ton sampah yang dibuang ke sungai setiap harinya, yang akhirnya bermuara ke laut, pembuangan limbah-limbah dan zat-zat kimia oleh pabrik dan kebocoran kapal tanker merupakan faktor-faktor yang menyebabkan pencemaran laut yang diakibatkan oleh manusia. Pencemaran laut banyak terjadi di Indonesia, terutama di kota-kota besar yang padat penduduknya, dan yang paling parah terjadi adalah di Teluk Jakarta dengan kadar pencemaran yang sudah diatas ambang normal. Keadaan perairan di teluk Jakarta sangatlah memprihatinkan, terbukti dengan banyaknya ikan yang mati akibat zat-zat kimia yang dikandung perairan tersebut sudah terlampau parah. Hal ini membuktikan banyak biota-biota laut di teluk tersebut yang sudah tercemar zat-zat beracun, sangat riskan karena itulah yang dikonsumsi warga setiap harinya.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan pencemaran laut. Seperti yang disinggung di atas, sampah merupakan faktor utama penyebab pancemaran laut, terutama sampah rumah tangga. Sebagai contoh di teluk Jakarta, tidak kurang dari 14.000 meter kubik sampah masuk setiap harinya. Sampah-sampah ini dihasilkan oleh 15 juta penduduk Jakarta dan dialirkan ke 13 sungai yang bermuara ke teluk Jakarta. Akibatnya teluk Jakarta mirip tempat pembuangan sampah. Hal ini juga berimbas ke daerah di sekitarnya, terutama kepulauan Seribu.
Menumpuknya sampah di kawasan ini diakibatkan oleh perilaku masyarakat di Jakarta dan sekitarnya yang dengan seenaknya membuang sampah ke sungai. Kesadaran masyarakat yang rendah ini mengakibatkan hampir seluruh sungai yang melintas di Jakarta menjadi semacam “tempat sampah”. Apabila kita melintas di pinggir sungai-sungai itu, kita akan menyaksikan bagaimana masyarakat dengan tanpa rasa bersalah membuang limbah rumah tangganya ke dalam sungai tersebut.
Bahkan dari data yang ada, setiap harinya terdapat tambahan rutin 27.966 meter kubik atau setara dengan 6.000 ton sampah di Jakarta. Berbagai jenis sampah ini berasal dari cakupan wilayah yang mencapai 650 kilometer persegi dengan tingkat kepadatan 11.244 jiwa per kilometer persegi, dengan rata-rata satu orang menghasilkan 2,97 liter sampah per hari.
Dari keseluruhan sampah itu, 90 persennya langsung dibuang di 13 aliran sungai yang bermuara di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Akibatnya, ke 13 sungai di Jakarta ini mengalami pencemaran yang parah dan sampah-sampah ini bermuara di kedua kawasan di atas.
Berdasarkan data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal), tingkat pencemaran di Teluk Jakarta hingga Kepulauan Seribu saat ini dalam kondisi sangat kronis. Setidaknya 83 persen dari 13 daerah anak sungai dan sembilan kawasan muara sungai kini masuk dalam kategori tercemar berat.
Akibat banyaknya sampah yang bermuara di Teluk Jakarta ini, kawasan perairan ini sudah ditetapkan ke dalam status eutrofik, atau dapat meledak sewaktu-waktu. Bentuk ledakan ini antara lain adalah munculnya berbagai macam penyakit, kematian massal biota laut, serta berbagai hal yang dapat mengancam dan berimbas langsung kepada masyarakat seperti banjir.
Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pakar kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), pencemaran di kedua kawasan perairan itu didominasi polusi dan degradasi ekosistem. Polusi itu antara lain berupa silikat yang mencapai 52.156 ton, fosfat mencapai 6.741 ton, dan nitrogen mencapai 21.260 ton.
Pembuangan limbah-limbah dan zat-zat kimia berbahaya oleh pabrik ke sungai setiap harinya juga menyebabkan kondisi pencemaran bertambah parah. Pembuangan limbah ini biasanya belum dinetralisir terlebih dahulu, sehingga menyebabkan beban polusi yang harus dikandung sungai maupun air laut menjadi semakin besar. Padahal sungai tersebut sudah harus menahan beban akibat sampah-sampah yang dibuang warga. Di teluk Jakarta misalnya, kandungan bahan-bahan kimianya sanagat tinggi dan sudah melebihi batas normal.
Pencemaran logam berat di kawasan Teluk Jakarta saat ini memang sudah dalam tahap memprihatinkan. Terlihat dari tingginya angka pencemaran, khususnya merkuri dan pestisida, yang mencapai rata-rata 9 ppb PCB dan 13 ppb DDT. Keduanya
sudah melebihi ambang batas yang diperbolehkan, yaitu maksimum 0,5 ppb.
Logam berat lain yang kandungannya tinggi dan dinyatakan jauh melebihi batas
aman, yang ditemukan dalam pencemaran Teluk Jakarta ini, antara lain seng
(Zn), tembaga (Cu), kadmium (Cd), fosfat, dan timbal (Pb). Pencemaran ini
diakibatkan pembuangan limbah industri kertas, minyak goreng, dan industri
pengolahan logam di kawasan Pantai Marunda. Akibatnya, beban yang ditanggung oleh
Teluk Jakarta semakin berat.
Ratusan satwa laut dari berbagai jenis ikan,
udang, belut laut, dan kepiting yang ditemukan mati di Teluk Jakarta sangat
mungkin disebabkan oleh keracunan logam berat dan limbah kimia lain. Sektor sandang dan industri kulit menimbulkan limbah yang mengandung sisa-sisa zat warna, BOD
tinggi, kadar minyak tinggi dan beracun karena mengandung limbah B3 yang
tinggi.
Pencemaran laut juga tidak akan terjadi tanpa adanya tumpahan minyak ke laut yang disebabkan oleh kebocoran maupun kecelakaan kapal tanker. Pencemaran lingkungan oleh tumpahan minyak kapal bukan hal baru di Indonesia. Setidaknya telah terjadi sembilan kali kasus tumpahan minyak di Indonesia sejak 1975. Tanker Showa Maru, karam di Selat Malaka tahun 1975, menumpahkan 1 juta ton minyak mentah; Choya Maru, karam di Bulebag, Bali (1975), menumpahkan 300 ton bensin; Golden Win, bocor di Lhokseumawe, NAD (1979), menumpahkan 1.500 kiloliter minyak tanah. Kemudian, Nagasaki Spirit, karam di Selat Malaka (1992), menumpahkan minyak mentah; Maersk Navigator, karam di Selat Malaka (1993), menumpahkan minyak mentah; Bandar Ayu, karam di Pelabuhan Cilacap (1994), menumpahkan minyak mentah; Mission Viking, karam di Selat Makassar (1997), menumpahkan minyak mentah; dan MT Natuna Sea, karam di Pulau Sambu (2000), menumpahkan 4.000 ton minyak mentah. (Kamaluddin, 2002).
Menurut Ingmanson dan Wallace (1985), sekitar 6 juta metrik ton minyak setiap tahun mencemari lautan. Penyebabnya secara umum adalah transportasi minyak, pengeboran minyak lepas pantai, pengilangan minyak dan pemakaian bahan bakar produk minyak bumi. Laut yang tercemar oleh tumpahan minyak akan membawa pengaruh negatif bagi berbagai organisme laut..
Pencemaran laut berdampak negatif baik bagi manusia maupun lingkungan sebagai penopang hidup manusia. Dengan adanya tumpahan minyak ke laut secara otomatis air yang bercampur minyak itu juga akan mengganggu organisme aquatik pantai, seperti berbagai jenis ikan, terumbu karang, hutan mangrove dan rusaknya wisata pantai. Sebagai contoh adalah banyaknya ikan yang mati di teluk Jakarta. Padahal terumbu karang merupakan tempat hidup berbagai jenis ikan dan dapat dimanfaatkan untuk pariwisata, sehingga menyebabkan potensi pengembangan pariwisata di Kepulauan Seribu. Saat ini dampaknya juga sudah mulai dirasakan oleh masyarakat yakni terganggunya mata pencaharian lebih dari 20.000 warga Kepulauan Seribu yang selama ini menggantungkan hidupnya dari laut, mangrove, dan terumbu karang. Bahkan sejak tahun 2002 lalu, produksi ikan nelayan di kawasan ini menurun hingga 38 persen. Karamnya tanker Showa Maru telah menurunkan produksi tangkapan ikan di sekitar Selat Malaka dari 27,6 ton pada tahun 1974 menjadi 6,1 ton pada tahun 1975 (Bilal, 1990). Tumpahan minyak juga akan menghambat/mengurangi transmisi cahaya matahari ke dalam air laut karena diserap oleh minyak dan dipantulkan kembali ke udara.
Logam berat yang terakumulasi dalam tubuh manusia dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tubuh, menimbulkan cacat fisik, menurunkan kecerdasan, melemahkan sistem saraf, dan berpengaruh ke tulang. Kadmium yang mengendap di dalam tubuh dapat mengecoh tubuh dan dianggap kalsium oleh tubuh sehingga diserap oleh tulang. Air limbah dari industri kimia termasuk kategori limbah
bahan beracun berbahaya (B3) yang dapat mencemari air dan udara, yang dapat
menyebabkan keracunan akut yang menimbulkan penyakit bahkan kematian, maupun
keracunan kronis akibat masuknya zat-zat toksin ke dalam tubuh dalam dosis
kecil tetapi terus menerus dan berakumulasi dalam tubuh.
B. Penanggulangan Abrasi & Pencemaran Laut
1. Penanggulangan Abrasi
Untuk mengatasi masalah abrasi di Indonesia ini pemerintah secara bertahap melakukan pembangunan alat pemecah ombak serta penghijauan hutan mangrove di sekitar pantai yang terkena abrasi tersebut. Dalam mengatasi masalah abrasi ini, tentu ada saja hambatan-hambatan dan juga kesulitan-kesulitan yanag akan dihadapi, misalnya dalam pembangunan alat pemecah ombak ini diperlukan biaya yang sangat mahal dan juga wilayah tempat pembangunannya sangat luas, sehingga untuk membangun alat ini di seluruh pantai yang terkena abrasi akan memerlukan waktu yang sangat lama dan juga biaya yang sangat mahal.
Upaya penanaman tanaman bakau di pinggir pantai juga banyak hambatannya. Tanaman bakau hanya dapat tumbuh pada tanah gambut yang berlumpur. Hal ini akan menjadi sangat sulit karena sebagian besar pantai di Indonesia merupakan perairan yang dasarnya tertutupi oleh pasir, seperti kita ketahui bahwa tanaman bakau tidak dapat tumbuh pada daerah berpasir. Jika tetap dipakasa untuk ditanami mangrove, maka tidak akan optimal dan hasilnya akan sia-sia, karena selain memiliki kesempatan tumbuh yang kecil, juga masih dihantam abrasi. Untuk itu, satu-satunya cara untuk menyelamatkan daratan dari ancaman abrasi pantai adalah dengan memasang pemecah ombak. Setelah itu, di balik pemecah ombak diberi lumpur, lalu ditanami mangrove. Dengan demikian tingkat kegagalan tumbuh dari mangrove dapat dikurangi.
Meskipun sangat sulit, tetapi usaha untuk mangatasi abrasi ini harus terus dilakukan. Jika masalah abrasi ini tidak segera ditanggulangi, maka bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan luas pulau-pulau di Indonesia banyak yang akan berkurang. Agar upaya ini dapat berjalan dengan lebih baik, maka peranan dari semua elemen masyarakat sangat diperlukan. Pemerintah tidak akan dapat mengatasinya tanpa partisipasi dari masyarakat. Apabila alat pemecah ombak berhasil dibangun dan hutan bakau atau hutan mangrove berhasil ditanam, maka dampak abrasi tentu akan dapat dikurangi meskipun tidak sampai 100%.
2. Penanggulangan Pencemaran Laut
Masalah pencemaran pantai juga harus diatasi denga sangat serius karena dapat merusak keindahan dan keasrian pantai. Untuk megatasi permasalahan ini kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan harus ditingkatkan. Selain itu peraturan untuk tidak merusak lingkungan harus dibuat dan menindak dengan tegas bagi siapa pun yang melanggarnya.
Sekarang ini, di beberapa pantai masih banyak ditemui sampah-sampah yang berserakan. Selain itu, limbah pabrik yang beracun banyak yang dialirkan ke sungai yang kemudian mengalir ke laut. Hal ini dapat merusak ekosistem laut, dan juga dapat membunuh beberapa biota laut. Pemerintah seharusnya menghimbau agar seluruh pabrik-pabrik tersebut agar membuang limbahnya setelah dinetralisasi terlebih dahulu. Secara umum, hal-hal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi pencemaran laut anatara lain :
a. Siapkan law enforment lingkungan yang memang berfungsi dengan baik dan dihargai oleh setiap pihak dan anti suap.
b. Tidak membuang sampah di sungai serta sanksi bagi yang melanggarnya.
c. Jika terjadi tumpahan minyak akibat kebocoran atau kecelakaan kapal tanker maka menggunakan pelampung untuk mencegah minyak tidak meluas yang dikombinasikan dengan penggunaan skimmer (pompa) untuk mengambil kembali minyak yang mengapung.
d. Menetralisir limbah sebelum dibuang ke sungai, dan menyarankan kepada perusahaan-perusahaan untuk mempunyai alat penetralisir limbah.
e. Pembersihan besar-besaran sungai maupun air laut dari sampah maupun bahan-bahan kimia berbahaya lainnya, dan mengembalikan ekosistem seperti sedia kala.

pencemaran laut

Pencemaran Laut
Malaysia dikelilingi oleh laut di mana terdapat pelbagai aktiviti seperti carigali minyak dan pengangkutan air . Justeru itu Malaysia juga adalah terdedah kepada risiko tumpahan minyak yang besar . Perangkaan menunjukkan bahawa lebih dari 165 pelantar minyak telah menjalankan usaha carigali dan aktiviti pengeluaran di perairan Laut Cina Selatan dan Selat Melaka pula adalah laluan perkapalan yang antaranya paling tersibuk di dunia . Dalam tahun 1995 terdapat lebih kurang 30251 buah kapal yang telah melalui Selat Melaka yang mana hampir 30% adalah merupakan kapal-kapal tangki. (Sumber : Perangkaan Jabatan Laut Semenanjung Malaysia )

Kini, laut semakin terancam oleh aktiviti manusia yang ghairah mengejar materialistik tanpa menghiraukan implikasi kepada alam sekitar . Pencemaran di Asia Tenggara adalah berpunca daripada pelbagai faktor . Kepelbagaian faktor ini menyebabkan kualiti dan kuantiti air laut tercemar dengan begitu teruk tanpa ada satu vaksin yang mujarap untuk memulihkannya . Lebih 90% daripada punca pencemaran laut adalah disebabkan oleh aktiviti manusia dan baki 10% adalah berpunca dari sektor perkapalan . (Persatuan Pencinta Alam, Tumpahan Minyak Yang Meracuni Perairan Malaysia, Dewan Kosmik (Mac), DBP, Kuala Lumpur, 1995, m.s.:53-55)

Langkah dan kerjasama yang diambil oleh negara-negara berpantai di rantau Asia Tenggara .
Terdapat tiga buah negara yang saling berkongsi perairan iaitu Malaysia, Indonesia dan Thailand . Ketiga-tiga negara ini saling terlibat dalam kerjasama yang bertujuan untuk mencapai kepentingan bersama . Malaysia dan Indonesia telah bekerjasama dalam usaha untuk mempertahankan kedaulatan Selat Melaka di bawah kedaulatan kedua-dua negara . Walaupun isu Selat Melaka bersifat rumit namun ia tidak pernah menghalang negara-negara berpantai untuk prihatin terhadapnya .

Kejadian yang berlaku pada 6 Januari 1967, telah memaksa negara-negara yang berpantai untuk mengambil satu tindakan yang positif terhadap kejadian tersebut . Di dalam tahun tersebut kapal tangki minyak Jepun yang dikenali sebagai Torry Canyon yang telah didaftarkan di Liberia telah terlibat dalam perlanggaran . Akibatnya berlaku pertumpahan minyak yang mana memerlukan kos yang tinggi untuk membersihkannya . Jumlah kos yang diperlukan pada ketika itu ialah 16 juta dollar .

Buat masa ini Malaysia dan Indonesia melalui ASEAN mereka telah menyalurkan pandangan mereka mengenai isu-isu Selat Melaka . Satu rancangan yang dikenali sebagai Rancangan Kontigensi Kebangsaan Mengawal Tumpahan Minyak telah diadakan di Jabatan Alam Sekitar . Objektif bagi kerjasama serantau ini membolehkan satu tindakan serta-merta dijalankan bagi mengawal tumpahan minyak ynag tertumpah di perairan Malaysia .

Selain dari Malaysia, negara-negara berpantai yang lain seperti Singapura turut mewujudkan beberapa badan tertentu untuk mengatasi masalah ini . Kesemua badan-badan yang ditubuhkan ini terletak di bawah satu pentadbiran pelabuhan Singapura atau dikenali sebagai Port of Singapore (PSA) . Syarikat-syarikat minyak juga prihatin dengan isu ini . Mereka telah bergabung untuk membentuk Tierred Area Response Capability (TARC) . Pertubuhan ini dibentuk pada tahun 1986 dan dianggotai oleh Syarikat Minyak ESSO, Caltex dan Mobile . Organisasi ini mempunyai pelbagai kelengkapan yang canggih dan terkini yang dapat digunakan dalam kerja-kerja pengawalan dan pembersihan kawasan tumpahan minyak .

Pada tahun 1992, singapura telah mencadangkan penubuhan satu badan khas untuk mengatasimasalah tumpahan minyak . East Asia Response Limited (EARL) akhirnya telah terbentuk dan ia dianggotai oleh lima syarikat minyak terkemuka . Syarikat-syarikat itu ialah ESSO, Petronas, Caltex, Mobile dan Shell . Pertubuhan ini berbeza dari pertubuhan yang lain kerana peranannya yang luas dan tidak terhad di kawasan perairan Malaysia dan Singapura sahaja tetapi meliputi rantau Asia Pasifik termasuk Jepun dan Australia .

Apabila berlakunya kejadian tumpahan minyak, langkah pertama yang harus dilakukan ialah mengawal tumpahan minyak daripada merebak ke kawasan lain . Tumpahan minyak akan cepat merebak melalui tiupan angin dan pengaliran arus air yang deras . Terdapat empat cara yang digunakan untuk mengawal tumpahan minyak iaitu :

Cara mengepung dan mengumpul tumpahan
Menggunakan dispersent dan bahan kimia
Pembersihan pantai
Dibiarkan sahaja
Selain daripada itu, terdapat pelbagai faktor yang perlu diambil dalam mengawal tumpahan minyak daripada merebak . Antaranya ialah :

Lokasi tumpahan
Kuantiti tumpahan
Jenis tumpahan
Keadaan laut
Keupayaan tindakbalas bahan yang tertumpah
Apabila berlaku kejadian tumpahan minyak, pihak yang bertanggungjawab akan menjalankan operasi pembersihan minyak secara berperingkat-peringkat iaitu peringkat tempatan, peringkat kawasan dan peringkat wilayah .

Operasi peringkat wilayah berjalan apabila tumpahan minyak yang berlaku adalah yang terbesar, melibatkan kawasan yang luas dan jumlah tumpahan yang banyak. Ia dilakukan apabila jumlah peralatan, tenaga dan sumber dari negara ini tidak mencukupi dan melibatkan bantuan daripada negara lain . Di antara alternatif daripada kerjasama peringkat wilayah ini ialah :

Rancangan Kontigen Lombok - Makasar
Standard Operating Prosedure for Straits of Malacca and the Straits of Singapore
Standard Operating Prosedure for Malaysia and Brunei Darussalam
ASEAN - Oil Spill Response Action Plan (ASEAN - OSRAP)
Seterusnya terdapat juga objektif bagi mewujudkan kawalan tumpahan minyak. Antara objektifnya ialah :

Untuk mengadakan satu sistem tindak balas serta-merta yang diselaraskan bagi menghadapi tumpahan minyak.
Untuk meningkatkan kemampuan dan sumber-sumber yang ada dari segi peralatan serta latihan kakitangan bagi menghadapi kejadian tumpahan minyak.
Untuk mengelakkan kesan buruk ke atas persekitaran dengan cara mengawal aliran minyak.
Terdapat juga langkah-langkah lain yang dilakukan untuk mengurangkan dan mengelak berlakunya kemalangan kapal di Selat Melaka dan Selat Singapura. Negara-negara berpantai merasakan amat perlu bagi mereka untuk mengawal keselamatan lalu lintas di kedua-dua selat tersebut. Oleh itu, mereka telah menyarankan agar Trafic Separation Scheme (TSS) atau Skim Lalu Lintas diwujudkan memandangkan di Eropah telah lama menggunakan kaedah ini iaitu sejak pertengahan abad ke-19. Perlaksanaan TSS adalah didorong oleh kejayaan skim yang serupa di Eropah. Cadangan untuk mengadakan skim ini di Eropah bermula pada tahun 1857 iaitu di England. Cadangan ini dibuat ekoran dari tragedi perlanggaran kapal milik Amerika dan Perancis yang mengorbankan seramai 3000 orang.

Beberapa saranan juga telah dibuat bagi menjaga supaya pencemaran tidak berlaku secara berleluasa. Antaranya ialah :

Masalah pencemaran Selat Melaka harus dikaji dengan lebih mendalam dan tindakan yang bersesuaian harus segera diambil.
Akta Zon Ekonomi Eksklusif 1984 haruslah digunakan setakat yang diperlukan dan mengenakan denda yang lebih tinggi kepada mereka yang mencemar laut dan pantai.
Majlis peringkat tertinggi dianggotai oleh kalangan negara-negara berpantai yang berkongsi perairan Selat Melaka harus ditubuhkan untuk meneliti perkara ini dan mencari jalan penyelesaiannya.
semua pengguna Selat Melaka diwajibkan membayar levi atau tol.
Dengan wujudnya pelbagai saranan, akta, skim dan pertubuhan diharapkan masalah pencemaran akan dapat dikurangkan bagi memelihara perairan negara kita. Di Malaysia berbagai pihak terbabit dalam penguasaan pencemaran seperti Jabatan Alam Sekitar (JAS), Jabatan Kastam dan Eksais Diraja, Jabatan Marin, Jabatan Laut, TLDM dan PDRM yang diperwakilkan kuasa menyiasat di bawah Akta Kualiti Alam Sekeliling 1974. Walaupun begitu, Jabatan Alam Sekitar adalah bertanggungjawab sepenuhnya dalam menguatkan akta tersebut dengan dibantu oleh agensi-agensi maritim yang lain.

Selasa, 20 Maret 2012

hukum dan pencegahan pencemaran / pengrusakan lingkungan perikanan


Hukum dan Pecegahan Pencemaran / Pengrusakan Lingkungan Perikanan.

Lingkungan hidup, termasuk lingkungan laut (perikanan) merupakan karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa bagi umat manusia. Karena itu pendayagunaan sumber daya perikanan haruslah memperhitungkan kebutuhan masa kini dan generasi mendatang. Sehingga terdapat cukup alasan, penyelenggaraan dan pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan harus didasarkan pada norma hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup (lingkungan sumber daya ikan).

Pengelolaan sumber daya perikanan yang berwawasan lingkungan sesungguhnya sudah menjadi kebutuhan dini. Mengapa ? Krisis ekologis bukan lagi merupakan kemungkinan masa depan. Sebaliknya sudah menjadi realita kontemporer yang melebihi batas-batas toleransi dan kemampuan adaptasi lingkungan. Proliferasi malapetaka lingkungan –environmental disasters—sudah mencapai dimensi regional-modial-global dan terus berdampak secara dramatis (Suparto Wijoyo;  1999 :1). Dalam perspektif krisis ekologis itu, pencemaran dan kerusakan lingkungan laut memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Dari sejumlah klasifikasi kasus-kasus pencemaran dan perusakkan lingkungan di Indonesia, pencemaran sungai menempati 41, 0 %, pencemaran air laut 6,5 %.

Keterbatasan sumber daya alam sebagaimana juga halnya dengan sumber daya perikanan—dan kepekaan lingkungan perikanan pada perubahan besar sebagai pendukung kehidupan manusia sudah lama diperdebatkan para ahli. Dalam kaitan ini, tidaklah mengherankan apabila ahli dibidang perikanan mempersoalkan dan mengembangkan gagasan perlindungan dan pengelolaan lingkungan perikanan. Selden dengan teorinya tentang “exhausstablity” sumber daya ikan dilaut tahun 1600-an, Arrhenius yang menampilkan “environmental vulnerability” pada tahun 1800-an. Haeckel dengan ajaran ekologinya tahun 1900-an, Huxly, Scott dan Elton dengan gerakan konsevasi selama 30 tahun,- bagian-bagian pertama abad 20, dan Barry Commoner dengan hukum ekologinya tahun 1960-an, Otto Sumarwoto dengan Ekologi Indonesia tahun 1970-an, Emil Salim dengan Ekonomi Lingkungan pada era pembanguna berwawasan lingkungan di Indonesia pada tahun 1980-an , dan para pakar lingkungan lainnya merupakan sebagian kecil saja contoh dari sejumlah ahli yang menghabiskan  waktunya pada keperdulian lingkungan (Daut Silalahi dalam Etty R. Agus, dkk; 1999:445).

Perkembangan gagasan perlindungan dan pengelolaan lingkungan tersebut menunjukkan ada perhatian serius terhadap sumber daya perikanan untuk masa kini dan generasi mendatang. Dan di Indonesia sendiri gagasan perlindungan dan pengelolaan lingkungan perikanan –setidaknya berdasarkan UU No.9 Tahun 1985-- tampaknya belum sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan yang dianut Deklarasi Rio tahun 1992 yang berpengaruh pada ketentuan hukum lingkungan baru di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No.23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup dan sekaligus sebagai perluasan dan penyempurnaan UU No.4 Tahun 1982
Undang-Undang No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan sebagai peraturan dasar dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan di Indonesia, dalam pembentukkannya ternyata belum mempertimbangkan UU No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam perumusannya, sehingga pembentukkan UU No.9 Tahun 1985 dapat dikatakan masih mengabaikan soal perlindungan lingkungan sumber daya perikanan –setidaknya belum menjadi perhatian yang sungguh-sungguh.

 Undang-Undang No. 5 tahun 1985 cenderung berkiblat pada pemanfaatan sumber daya perikanan yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Meskipun disisi lain dinyatakan, bahwa pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan oleh UU ini dikehendaki dilakukan secara terpadu dan terarah dengan melestarikan sumber daya ikan berserta lingkungannya, tetapi dengan kecenderungan UU perikanan itu pada gilirannya akan berbenturan dengan UU No. 23 tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hal ini setidaknya terlihat dari beberapa pengertian yang diberikan UU No.9 Tahun 1985 mengenai; Pencemaran Sumber Daya Ikan; Pencemaran Lingkungan Sumber Daya Ikan; Kerusakan Sumber Daya Ikan dan Kerusakan Lingkungan Sumber Daya Ikan tidak sejalan dengan pengertian pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dirumuskan UU No.23 Tahun 1997.

Ketidak kesejalanan persoalan pengelolaan lingkungan antara UU No.9 Tahun 1985 dengan UU No. 23 tahun 1997 tersebut misalnya; Dalam UU No.9 Tahun 1985 tentang Perikanan memberikan pengertian tentang pencemaran lingkungan sumber daya ikan yakni; masuknya atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan sumber daya ikan sehingga kualitas lingkungan sumber daya ikan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan sumber daya ikan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Sementara itu menurut UU No.23 tahun 1997 yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan hidup adalah; masuknya atau dimasukkannya makluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia  sehingga kualitasnya  turun sampai tingkat tertentu yang mengakibatkan lingkungan hidup sumber tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.

Terhadap apa yang disebut dengan kerusakan lingkungan sumber daya ikan dalam UU No. 9 Tahun 1985 dirumuskan sebagai; suatu keadaan lingkungan sumber daya ikan disuatu lokasi perairan tertentu yang telah mengalami perubahan fisik, kimiawi dan hayati, sehingga tidak atau kurang berfungsi sebagai tempat hidup, mencari makan, berkembang biak atau berlinfung sumber daya ikan, karena telah mengalami gangguan sedemikian rupa sebagai akibat perbuatan seseorang atau badan hukum. Sementara UU No.23 Tahun 1997 tidak lagi digunakan istilah “kerusakan” lingkunggan hidup, melainkan “Perusakkan” yang dirumuskan sebagai;  tindakan yang menimbulkan perubahan lansung atau tidak lansung terhadap sifat fisik dan atau hayati yang mengakibatkan lingkungan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Adanya perbedaan rumusan mengenai pencemaran lingkungan dan tidak dipergunakannya lagi istilah kerusakan lingkungan dalam UU No.23 Tahun 1997, ia menunjukkan bahwa konsepsi soal pencemaran dan kerusakan lingkungan sumber daya ikan sebagaimana yang dianut UU No.9 Tahun 1985 sudah tidak memadai lagi dan karenanya perlu diperbaharui atau diselaraskan dengan perkembangan baru hukum lingkungan di Indonesia.

Pembaharuan atas UU No. 9 tahun 1985 tentang Perikanan tersebut dirasakan sangat penting, apabila dihubungkan dengan konsepsi pengelolaan sumber daya perikanan sebagaimana dituangkan dalam Pasal 3 UU No.9 tahun 1985, yakni: Pengelolaan sumber daya ikan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia ditujukan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, upaya pengelolaan sumber daya perikanan cenderung bergerak kearah eksploitasi dan kurang menaruh perhatian pada pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan sumber daya perikanan.

Di lain pihak, meskipun UU No. Tahun 1985 menghendaki perlu adanya ketentuan hukum yang mengatur mengenai pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya, tetapi dalam kenyataannya, selain lemahnya penegakkan hukum, juga belum tersedia ketentuan hukum yang memadai. Indikasinya terlihat dari pencemaran dan perusakan lingkungan sumber daya perikanan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Terjadinya peningkatan kualitas maupun kuantitas pencemaran dan kerusakan lingkungan sumber daya ikan di Indonesia itu, sekaligus memperlihatkan rendahnya partisipasi dan lemahnya komitmen kita terhadap pengelolaan sumber daya perikanan yang berkelanjutan. Padahal masyarakat internasional sudah sejak lama meletakkan dasar akan arti penting perlindungan terhadap sumber daya ikan.  Dalam Pasal 24 Konvensi Jenewa 1958 ditegaskan; "every state shall draw up regulations to prevent pollution of the seas by the dischange of oil from ships or pipelines or resulting from the exploitation and exploration if the seabed and its subsoil taking account to the existing treaty provisions on the subject". ("Setiap negara wajib mengadakan peraturan-peraturan untuk mencegah pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut atau yang disebabkan oleh eksplorasi dan eksploitasi dasar laut dan tanah di bawahnya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang terdapat mengenai masalah ini").

Konvensi Jenewa 1958 juga mewajibkan negara-negara untuk mengadakan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan lingkungan laut (termasuk ke dalamnya lingkungan perikanan dan pelestarian kekayaan hayati laut). Dengan demikian tidak cukup alasan bagi Indonesia untuk tidak memiliki ketentuan hukum yang khusus mengenai pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan sumber daya ikan.

Demikian pula dengan Konvensi Hukum Laut 1982 yang dalam pasal 192 menegaskan : "states have the obligation to protect and preserve the marine environment" ("Negara-negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut"). Disamping kewajiban, maka berkenaan dengan hak kedaulatan negara untuk mengeksploitasikan kekayaan alamnya (sumber daya ikan), lebih jauh Pasal 193 Konvensi Hukum Laut 1982 menegaskan : "states have the sovereign right to exploit their natural resources pursuant to their environmental policies and accordance with their duty to protect and preserve the marine environment" ("Negara-negara mempunyai hak kedaulatan untuk mengeksploitasi kekayaan alam mereka serasi dengan kebijaksanaan lingkungan mereka serta sesuai pula dengan kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut").

Baik berdasarkan Konvensi Jenewa 1958 maupun Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa  pengeksploitasian sumber daya ikan dilakukan secara sumultan dengan upaya perlindungan dan pelestarian sumber daya ikan. Masalahnya kemudian, bagaimana ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (sumber daya ikan) dalam ketentuan hukum nasional Indonesia ? Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (pantai) dalam Hukum Nasional kita dapat dilihat pada :
  1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
  2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Terbentuknya peraturan perundang-undangan baru yang dapat dianggap memenuhi kesadaran hukum rakyat, tidak otomatis menjamin efektifitas pelaksanaannya. Hal ini berlaku pula untuk kedua aturan perundang-undangan tersebut di atas, penyebabnya antara lain (Budi Wibowo) :
  1. Ketentuan perundang-undangan tidak segera dilengkapi dengan ketentuan pelaksanaannya (Implementing regulations) sehingga berdampak bahwa ketentuan operasional yang dibuat berdasarkan undang-undang yang lama untuk menjaga kefakuman hukum sehingga masih tetap berlaku.
  2. Kurang berkembangnya teori penafsiran hukum yang mestinya dapat dikembangkan oleh para hakim, sehingga ada kelambatan dalam proses pembentukan hukum baru.
  3. Perkembangan hukum dalam masalah sumber daya alam hayati dan lingkungan laut belum disertai dengan kemampuan aparat penegak hukum di lapangan.
Dalam UU No. 5 Tahun 1990 ditegaskan bahwa kawasan pelest`rian alam sebagai kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman. Jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Ketentuan-ketentuan pelaksanaan dari kedua undang-undang tersebut yang di dalamnnya tercakup soal perlindungan lingkungan sumber daya ikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, misalnya :
  1. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut
  2. Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. 
IV. Kesimpulan.

Dengan bertolak dari fungsi hukum sebagaimana dikemukakan di atas, maka masih dirasakan adanya kekurangan aturan pelaksanaan dalam pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan perikanan guna menghindari kerugian yang lebih besar disamping mengingat eksistensi lingkungan laut bagi kelansungan hidup manusia. Di sisi lain perlu adanya pelatihan-pelatihan khusus untuk tenaga peneliti, pengawas, dan pengendali lingkungan, khususnya lingkungan laut. Peningkatan SDM di bidang kelautan berkaitan dengan perlindungan mutu laut, yang meliputi baku mutu air, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut.***

Senin, 19 Maret 2012

potensi sumber daya laut

Potensi Perairan Laut

Indonesia merupakan negara kepulauan dan 70% wilayahnya merupakan lautan yang mempunyai potensi sangat besar dalam pembangunan ekonomi baik secara nasional maupun regional. Hampir seluruh daerah propinsi di Indonesia mempunyai wilayah lautan, hal ini memberi peluang yang besar kepada daerah propinsi untuk mengembangkan potensi kelautan tersebut. Keberadaan lautan tersebut jika dikembangkan dan digunakan secara optimal dan dikelola secara benar akan mendatangkan kekuatanekonomiyangluarbiasa.

Dengan adanya perluasan wilayah kedaulatan dan wilayah kekayaan alam perairan Indonesia dari semula 2 juta km2 menjadi 9 juta km2 maka timbul tantangan baru yang perlu ditangani secara serius. Daerah perairan Indonesia yang cukup luas dengan panjang pantai lebih 81.000 km merupakan wilayah pantai yang subur dan dapat dimanfaatkan bagi kepentingan perikanan. Industri perikanan di Indonesia yang awalnya didominasi oleh perikanan tangkap yaitu hanya mengandalkan hasil tangkapan di laut dikhawatirkan akan menimbulkan dampak lingkungan yang tidak seimbang. Apalagi pada tahun-tahun terakhir telah terjadi over fishing sehingga kelestarian sumber daya perikanan akan terus menurun.

Untuk menjaga kelestarian sumber daya lautan, Perikanan Budidaya merupakan langkah strategis yang harus terus dikembangkan, sebab selain akan menghasilkan produksi yang terus meningkat dan kontinyu, kelestarian sumber daya lauta juga akan tetap terjaga. Ikan Kerapu merupakan salah satu komoditas perikanan yang sangat penting dan mempunyai nilai ekonomis tinggi. Permintaan ikan Kerapu ini semakin tahun menunjukkan peningkatan yang tajam. Saat ini permintaan ikan Kerapu di pasar Asia termasuk negara-negara Asean cukup tinggi terutama Hongkong, China, Singapura, Taiwan danJepang.

Budidaya ikan Kerapu mempunyai peluang yang sangat besar dilihat dari lingkungan strategis yang ada dan potensi pengembangan yang tersedia. Upaya meningkatkan hasil produksi ikan Kerapu yang sekarang banyak dilakukan dengan menggunakan sistem budidaya Jaring apung dan pembesaran di Tambak. Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscogatattus) merupakan jenis ikan laut komersial yang mulai banyak dibudidayakan orang, baik untuk pembenihan maupun pembesarannya karena menjanjikan prospek yang bagus. Jenis ikan Kerapu lain yang dapat dibudidayakan adalah Kerapu Sunu atau Kerapu Lodi (Plectomorphus leopardus dan P moculatus), Kerapu Bebek atau Kerapu Tikus (Chromileptes altivelis), Kerapu Lumpur (Epinephelus coioides), Kerapu Kertang atau Kerapu Naga (Epinephelus lanceolatus).

Ikan Kerapu macan merupakan jenis yang paling banyak diminati untuk dibudidayakan karena pertumbuhannya cepat, dalam 12 bulan bisa mencapai ukuran 5- 6 ons. Kerapu naga atau Kertang juga mempunyai prospek yang sangat bagus karena pertumbuhannya lebih cepat dari pada Kerapu Macan namun benihnya saat ini masih belum diproduksi secara massal. Indonesia merupakan produsen terbesar benih Ikan Kerapu, pusat pembenihan sekarang ini yang terbesar adalah di Situbondo Jawa Timur baik jumlah usaha pembenihan ataupun jumlah produksinya.
Karamba Jaring Apung
Karamba Jaring Apung
Kerapu Bebek (Chromileptes altivelis)

Potensi Sumberdaya Kelautan

Potensi dan peluang pengembangan kelautan meliputi (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan dan perikanan, (5) pengembangan pulau-pulau kecil, (6) pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal Tenggelam, (7) deep sea water, (8) industri garam rakyat, (9) pengelolaan pasir laut, (10) industri penunjang, (11) pengembangan kawasan industri perikanan terpadu, dan (12) keanekaragaman hayati laut.
1. Perikanan
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan potensi sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia.
Di samping itu terdapat potensi pengembangan untuk (a) budidaya laut terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya moluska (kerang-kerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput laut, dan (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan pangan.

2. Pertambangan dan energi
Potensi sumberdaya mineral kelautan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Sumberdaya mineral tersebut diantaranya adalah minyak dan gas bumi, timah, emas dan perak, pasir kuarsa, monazite dan zircon, pasir besi, agregat bahan konstruksi, posporit, nodul dan kerak mangan, kromit, gas biogenic kelautan, dan mineral hydrothermal.

3. Perhubungan Laut
Transportasi laut berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan menghubungkan wilayah pulau, baik daerah sudah yang maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut, namun, Indonesia ternyata belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun 2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional terhadap angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya mencapai 56,4 persen. Kondisi semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas. Selain diperlukan suatu kebijakan yang kondusif untuk industri pelayaran, maka Peningkatan kualitas SDM yang menangani transportasi sangatlah diperlukan.
Karena negara Indonesia adalah negara kepulauan maka keperluan sarana transportasi laut dan transportasi udara diperlukan. Mengingat jumlah pulau kita yang 17 ribu buah lebih maka sangatlah diperlukan industri maritim dan dirgantara yang bisa membantu memproduksi sarana yang membantu kelancaran transportassi antar pulau tersebut. Potensi pengembangan industri maritim Indonesia sangat besar, mengingat secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau. Untuk menjangkau dan meningkatkan assesbilitas pulau dapat dihubungkan melalui peran dari sarana transportasi udara (pesawat kecil) dan sarana transportasi laut (kapal, perahu, dan sebagainya).

4. Pariwisata Bahari
Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi wisatawan. Selain itu juga potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman flora dan fauna. Misalnya, kawasan terumbu karang di seluruh Indonesia yang luasnya mencapai 7.500 km2 dan umumnya terdapat di wilayah taman laut. Selain itu juga didukung oleh 263 jenis ikan hias di sekitar terumbu karang, biota langka dan dilindungi (ikan banggai cardinal fish, penyu, dugong, dll), serta migratory species.
Potensi kekayaan maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi pariwisata di laut Indonesia antara lain: wisata bisnis (business tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata budaya (culture tourism), wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata olah raga (sport tourism).